Pejuang tak harus bersentajakan Pistol Cuy !
Asyik banget
menonton film-film perjuangan, juga berbagai macam film action. Saya sampai bisa ikut merasakan, betapa gigih
dan dahsyatnya perjuangan mereka membela negara, teman-teman seperjuangan dan lain-lain. Segala daya upaya dikerahkan
sepenuhnya untuk melawan musuh baik tenaga, kecerdasan, strategi dan modal
kekuatan persenjataan agar menang dalam peperangan. Resiko terberat pun
dihadapi dengan jantan. Ada yang hancur kakinya, pecah kepalanya, atau wah masih banyak lagi deh ya kali gua jelasin semua gak etis ntr lo pada muntah muntah cuy, beberapa yang tewas karena terkena dahsyatnya ledakan granat dan mesiu saat terjadinya peperangan. Semua itu mereka pertaruhkan untuk Negara, teman rekan satu tim dst agar mereka bisa selamat guna mencapai suatu tujuan yang sama.
Ada
sebuah film drama perang "life is beautiful" cukup membuat perasaan terdalam gua atau mungkin kalian yang belum menonton (nonton dulu gih haha) masa iya belum nonon udah berkomentar hehehe (oke oke jgn pada marah selow selow). Oke lanjut pada fileemm yang berjudul Life is beautiful bercerita, yang menggambarkan sosok
ayah yang sederhana dimana selalu berusaha untuk dapat menghibur anaknya
walaupun kondisinya tidak mungkin untuk dapat tertawa. Namun sang ayah
berusaha untuk tertawa dan menghibur untuk anaknya...hanya ingin melihat
anaknya bahagia dalam berbagai kondisi yang ada. Tuhkan baru beberapa kalimat aja udah pada diem dah cengok hehe. Iya menurut gua sih pribadi itu udah mencakup perasaan hebatnya Sang Ayah hehehe.
Tak terbayangkan,
bagaimana heroiknya lagi jika kita bisa menikmati film-filmnya perjuangan Bung
Tomo, Panglima Sudirman atau Pangeran Diponegoro melawan para penjajah, ya ya ya pahlawan dalam Negerii Cuy masa kita lupa ya ga ya gak. Mungkin
darah kita akan mendesir merasakan berada di tengah-tengah pertempuran mereka
membela kehormatan bangsa.
Hancur badan atau
nyawa melayang tentu sudah resiko dalam hebatnya sebuah peperangan. Dan tentu sudah diperhitungkan
sebelumnya. Walaupun mati adalah resiko terberat dalam sebuah perjuangan,
karena artinya dia sendiri tidak akan bisa menikmati perjuangan tersebut
(itupun ya kalo kita berhasil cuy haha).
Tapi tetap saja
pejuang itu pantang menyerah. Baginya, arti kematian dirinya mungkin tidaklah
begitu berarti. Namun itu akan sangat berarti bagi pejuang lainnya, menjadi
cambuk semangat dan inspirasi bagi pejuang-pejuang penerus berikutnya.
Yang jadi
pertanyaan, bagaimana jika kita bukan tentara atau jendral dalam perang? Bahkan
seorang tentara ataupun jendral ketika tidak ada peperangan akan sulit
mengejawantahkan arti kepahlawanan jika tanpa pertempuran. Lalu, bagaimana
dengan kita?
Profesi paling
melekat dengan kepahlawanan, selain perjuangan dalam peperangan adalah atlet
olah raga atau ikut dalam kompetisi tertentu. Mungkin mudah bagi mereka untuk
membela negara, mengharumkan atau berjuang demi nama baik bangsa. Akan tetapi,
bagaimana jika kita seorang wiraswasta, dosen, mahasiswa, guru, pedagang atau
bahkan petani atau nelayan?
Amat banyak dari
kita kadang terlalu menganggap remeh diri kita sendiri, bahkan merendahkan
martabat sendiri. Saya pernah membaca berita, katanya banyak orang yang
sebenarnya mampu, tapi lebih memilih tidak malu mengaku sebagai orang miskin
agar bisa mendapatkan jatah BLT (Bantuan Langsung Tunai). Tentu dia lebih
senang menerima sumbangan (rela dianggap orang miskin), daripada berjuang jadi
orang terhormat (yang bisa menyumbang misalnya).
Selebihnya, jika
bertanya pada diri sendiri. Siapa kita? jawabannya malah dikonotasikan kurang
terhormat, kurang berderajat, atau kurang elit. Kita lebih senang
mengkonotasikan diri kita sebagai kaum rata-rata, orang biasa-biasa saja.
Akhirnya karena sudah sugesti, ya tetap saja jadi orang biasa. kebiasaan deh jadinya Cuy hehe
Padahal, jika
kita berani memikirkan yang besar, yang positif dan membangun. Kita orang Insya
Allah juga bisa menjadi besar. Besar yang dipikirkan, besar yang dilakukan, dan
akan besar pula impactnya bagi kehidupannya.
Berpikir Besar
Untuk bisa
berfikir besar, memang dibutuhkan keyakinan. Untuk memiliki keyakinan
dibutuhkan ilmu dan pengalaman. Nah, oleh karena itu, ilmulah titik utamanya.
Sehingga mengapa Al-Qur’an sangat mengutamakan menuntut ilmu.
Akan tetapi,
seringakali orang menuntut ilmu tidak dengan semangat / motivasi yang besar.
Dia hanya mengikuti ritme linier, menurut kurikulum yang ada. Sehingga, banyak
dari sarjana yang lulus, akan tetapi tidak memiliki visi dan semangat
perjuangan. Ini juga bisa menjadi ketimpangan tersendiri.
Yang ideal adalah
menuntut ilmu dengan semangat perjuangan. Semangat perjuangan bukan hak asasi
para pejuang kemerdekaan, olahragawan, atau pahlawan bangsa. Semangat juang
adalah hak tiap warga negara yang ingin membela bangsa dan negaranya. Boleh
mahasiswa, boleh pengusaha, boleh petani atau nelayan.
Akhirnya, yang
menjadi fokus dari semua nilai perjuangan adalah niat. Meluruskan niat agar
memiliki sikap kepahlawanan butuh perenungan dan berpikir. Memang tidak mudah
memiliki semangat juang pahlawan kalau jadi seorang petani. Tidak mudah pula
untuk seorang ibu rumah tangga.
Akan tetapi Allah
sudah mentakdirkan kita menjadi apa yang saat ini kita hadapi. Tinggal
bagaimana kita bisa mensyukuri semua rezeki juga kelimpahan berkah-Nya, menjalani dan mengisinya, dengan semangat
perjuangan bak pahlawan. Menjadi bangsa sejati, berjuang segenap jiwa dan raga
membela kehormatan bangsa dan negara dengan segenap kemampuan yang ada.
Sehingga, kalaupun kita mati di hutan, yang tak seorang pun tahu jasadnya, kita
masih bisa tersenyum dan bangga. Bahwa kita sudah bisa menjadi pahlawan sejati,
mengabdikan segenap hidup kita dengan penuh abdi.
terima kasih untuk inspirasinya Mas Seta (Humanika Consult)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar