Sabtu, 22 Desember 2012

Jalan menuju Puncak

Tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Semua harus diperjuangkan. Ongkos setiap perjuangan tergantung kondisi yang anda inginkan. Untuk mencapai puncak gunung harus melalui empat kondisi jalan. Apabila anda tidak bisa melalui empat kondisi jalan ini maka jangan harap anda akan sampai dipuncak gunung dengan kedamaian dan rasa syukur.



Jika dikatakan perjuangan, bukan hal atau sesuatu yang ”tidak memiliki tujuan”..., namun seuah PERJUANGAN pasti memiliki TUJUAN yang jelas. Sehingga dengan sadar dalam pencapaian tujuannya tersebut. Hal ini akan mendatangkan KEKUATAN dalam perjuangan. Seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu kita. Seperti pembangunan BOROBUDUR yang memakan waktu hampir 1 abad atau sebanyak kurang lebih berganti 20 raja dalam kurun waktu tersebut. Bukan KEAJAIBAN namun sebuah KOMITMEN dalam mewujudkan candi tersebut.

Walaupun kata KOMITMEN yang saat ini digunakan adalah merupakan bahasa serapan dari bahasa asing ”to commit” bukan berarti bangsa Indonesia tidak memiliki budaya tersebut. Kenapa saya memiliki pendapat tersebut, salah satu produk budaya adalah bahasa, dan yang terkecil adalah kata. Jika komitmen di dapatkan dari bahasa serapan. Tandanya kita, bangsa Indonesia, tidak memiliki budaya (komitmen) tersebut. Namun saya melihat lain, bangsa Indonesia memiliki itu, entah kata apa yang tepat dari bahasa Indonesia untuk dapat menggambarkan kata komitmen tersebut. Fenomena lain terkait keteguhan hati dalam perjuangan dapat dilihat dari sang patih Gajah Mada, yang bertekad untuk menyatukan nusantara. Kuncinya adalah Tujuan yang jelas sehingga dapat menentukan arah dan pilihan yang harus diambil selama perjuangan yang akan dilakukan.

Pertama ”Jalan Mendatar”. Sebelum mendaki maka akan melewati jalan mendatar di tengah hutan belantara. Bisa saja memilih jalan yang sudah dilalui orang lain dimana semua sudah terdapat jejaknya dan tentu saja aman. Atau dapat memilih jalur lain namun harus bersiap menerima resiko kehilangan arah atau dimangsa binatang buas. Di dalam hutan banyak sekali jebakan yang bisa membuat jatuh dan bahkan tidak dapat sampai ke tujuan kita. Semua tergantung PILIHAN!. Sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keyakinan dalam berjalan dalam pilihan. Yang pasti sukses adalah kualitas diri. Apakah ingin hidup sebagai follower atau sebagai inovator dan creator. Kisah menarik yang saya alami terkait dengan sebuah pilihan, yaitu absensi pada sahabat mahasiswa saya. Secara sadar dirinya telah tidak hadir kuliah lebih dari jumlah yang telah ditentukan. Ia mengetahui benar konsekuensi akan tidak bolehnya dirinya untuk mengikuti ujian pada saat itu karena absensinya melebihi batas yang telah ditentukan.

Namun saya terharu, ia tetap hadir untuk mendukung teman-temannya dalam ujian. Karena ujiannya merupakan hasil kerja kelompok dan dirinya merasa bertanggungjawab untuk dapat menghantarkan kelompoknya mendapat nilai yang baik. Itu sebuah PILIHAN, hal itu ia sadari dengan konsekuensi tetap tidak lulus karena absensi namun ia tahu bahwa perjuangan sesungguhnya adalah bukan masalah lulus atau tidak lulus namun BELAJAR yang ia tuju.

Kedua “ Jalan Mendaki “. Untuk mencapai puncak maka harus menguatkan otot dan bahu untuk mendaki. Jika berlari akan menguras energi sendiri. Sementara jarak menuju puncak tidak diketahui dengan pasti. Jika bicara energi akan sangat erat hubungannya dengan emosi. Artinya harus mempunyai emosi yang terkendali dalam mencapai dan dapat melihat puncak gunung. Dalam mendakipun harus rela untuk berhenti barang sejenak bila memang lelah. Bila kehilangan arah maka cobalah berhenti barang sejenak. Pandanglah langkah yang sudah terlewati, tataplah puncak gunung itu. Kemudian pikirkan dan analisa langkah yang telah dilalui. Banyak gunung semua memiliki tinggi yang berbeda. Sesuaikan kadar kemampuan diri dan tentukan mana puncak yang akan diraih terlebih dahulu maka itu adalah BIJAKSANA. Cerita kaum sufi menyebutkan tentang seekor bakicot merayap mendaki pohon murbay yang sangat tinggi. Sang burung mentertawakan Bakicot sambil berteriak “ Hai Bakicot apa yang engkau lakukan. Pohon murbay ini tidak sedang tidak berbuah dan berdaun karena musim gugur. Dan lagi sampai kapan anda akan tiba dipuncak pohon ini. “ Bakicot dengan tenang terus merayap pohon itu dan menjawab “ Saya tahu pohon ini sedang tidak berbuah dan berdaun tapi setidaknya ketika musim semi datang , saya sudah sampai dipuncak pohon untuk memakan daun murbai.” Untuk mencapai puncak tidak hanya dibutuhkan kekuatan fisik dan fasilitas yang tersedia tapi lebih dari pada itu adalah kemampuan melihat dari tabir kegegelapan. Melihat dengan kekuatan hati. Itu semua bersumber dari satu sikap “ SABAR dan ikhlas. “ itu yang disebut dengan MENTALITAS. Jika ditanyakan pada banyak orang, apakah jika ada rencana membuat BOROBUDUR 2 yang memiliki bentuk desain yang serupa apakah hal ini mungkin terjadi dengan kondisi teknologi yang ada pada saat ini ? pasti akan menimbulkan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Saya memiliki pandangan bisa ”ya” dan bisa ”tidak”. Dikatakan ”ya”, teknologi saat ini disertai biaya yang cukup sangat memungkinkan membuat BOROBUDUR 2, namun dikatakan ”tidak” terkait mentalitas dalam mewujudkan sebuah bangunan yang memiliki kualitas seperti yang aslinya. Sehingga dalam bagian kedua ini pada jalan mendaki, selain fisik dan fasilitas, MENTALITAS mengambil peran utama dalam keberhasilannya mencapai puncak.



Ketiga “ Jalan melereng “. Ketika mendaki , maka kondisi yang tidak bisa dihindari adalah jalan melereng ( jalan melingkar) mengitari tebing gunung. Disekitar terdapat jurang yang sangat dalam. Semakin tinggi puncak gunung yang hendak dicapai maka semakin dalam jurang yang ada disamping jalan yang dilalui. Di lereng gunung ini , selalu jalannya lincin. Tergelincir adalah resikonya . jalan mencapai puncak memang mengharuskan menempuh jalan berliku. Memang sangat menyakitkan bila harus terjatuh namun harus bangkit untuk mencoba lagi dan mencoba lagi. Yang pasti kesuksesan itu adalah reward terindah dari perjuangan tanpa lelah. Sikap hati - hati dan bijaksana mengendalikan emosi meredam ego adalah sangat penting bila anda ingin selamat sampai dipuncak. Karena masing-masing diri kita mengetahui apa yang menjadi TUJUAN yang ingin dicapai. Bisa dibayangkan jika menjadi pribadi yang tanpa tujuan dalam kehidupannya. Selalu dalam kebingungan dan keraguan dalam setiap keputusannya. Hal ini jugalah yang akan menentukan Adversity Quotient (AQ) diri kita. Apakah kita seorang yang ”Quitter”, melihat susahnya perjalanan yang akan ditempuh,mungkin baru ia dengar dari rekannya saja, hati sudah kecut dan akan mengurungkan niat untuk melakukan perjalanan. Sedangkan yang berikutnya adalah tipe ”Campper”, yaitu tipe pribadi yang baru sedikit dapat kesulitan memutuskan untuk berhenti, karena tidak tahu apa yang akan dituju. Dan terakhir adalah tipe ”Climbber” yaitu tipe pribadi yang digambarkan sebagai pribadi yang fokus terhadap tujuan sehingga mengarahkan emosi, energi, potensi diri dalam mencapai tujuan. Apapun resikonya, dapat melihat kebaikan apa yang menjadi tujuannya tersebut.

Keempat “ Jalan menurun “ Ketika telah berhasil sampai di puncak maka tidak ada yang dapat dirasakan kecuali puas. Bahwa perjalanan ini telah menjadi bagian dari sejumlah orang yang berhasil mencapai puncak dengan melewati berbagai tantangan. Banyak pula yang gagal mencapai puncak. Berhenti sebatas lereng gunung. Tetapi lambat atau cepat harus ikhlas untuk turun. Jalan menurunpun tidaklah mudah. Ia membutuhkan kekuatan emosi dan kesabaran mengitari lereng gunung dan menghadapi dalamnya jurang kehidupan. Rasa ”PUAS” ini merupakan hal yang harus diwaspadai menjadikan diri menjadi lengah dan mudah tergelincir pada saat di atas ataupun ketika perjalanan turun harus ia lakukan.

Banyak orang hanya melihat dan berhasrat meraih keindahan puncak gunung tapi tidak siap melewati pendakian dan menyusuri lereng gunung. Yang mereka lakukan adalah melakukan jalan pintas. Menyogok untuk menjadi pemenang. Menjilat agar mendapat jabatan. Berjudi agar cepat kaya. Merampok , korupsi agar cepat sukses. Inilah gambaran pribadi-pribadi yang memaknai hidup sebagai ”BERADAPTASI” bukan sebagai seorang yang ”CREATOR”. Bila mereka telah dipuncak dengan cara ini maka tentupula akan tidak siap bila harus turun. Karena tidak pernah tahu cara untuk turun. Mereka tidak pernah dapat menarik hikmah kemanusiaan dari keberadaannya di puncak karena mereka melangkah di uar hukum alam. Naik cepat dan turunpun cepat dan biasanya bukan turun secara alami tapi terjun bebas!....

Kehidupan yang sedang kita lalui ini adalah tidak lebih sama. Semua kita melalui proses mencapai puncak walau puncaknya berbeda - beda kadar ketinggiannya pada masing masing orang. Tergantung dengan tujuan kehidupan masing-masing orang dan juga seberapa kaya dalam memaknai kehidupan yang dilaluinya. Semakin tinggi puncak yang hendak dicapai maka semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Jalan mendatar , mendaki , melereng dan akhirnya harus turun dari puncak. Hukum alam tidak dapat dihindari. Penolakan atau mencoba memanipulasi hukum alam akan menimbulkan pradox , kehancuran bagi diri kita sendiri juga bagi kehidupan umat manusia di planet bumi ini. Kakek saya mengingatkan “alam terbentang menjadi guru”. Makna dari ungkapan ini adalah raihlah keberhasilan dengan banyak membaca , melihat dan mendengar karena beban untuk mu sudah menanti  “menjadi rahmat bagi alam semesta” – dengan PERBUATAN !



thanks to Seta Wicaksana ( Dosen sekaligus motivator ane hehehe banyak inspirasi nihhh ). ini merupakan salah satu hasil karya beliau yang membuat saya melek tentang sebuah perjuangan pengorbanan dan 1 hal yg terngiang di benak pikiran saya ialah Semakin tinggi puncak yang hendak dicapai maka semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Jalan mendatar , mendaki , melereng dan akhirnya harus turun dari puncak. Hukum alam tidak dapat dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar