Sabtu, 22 Desember 2012

Jalan menuju Puncak

Tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Semua harus diperjuangkan. Ongkos setiap perjuangan tergantung kondisi yang anda inginkan. Untuk mencapai puncak gunung harus melalui empat kondisi jalan. Apabila anda tidak bisa melalui empat kondisi jalan ini maka jangan harap anda akan sampai dipuncak gunung dengan kedamaian dan rasa syukur.



Jika dikatakan perjuangan, bukan hal atau sesuatu yang ”tidak memiliki tujuan”..., namun seuah PERJUANGAN pasti memiliki TUJUAN yang jelas. Sehingga dengan sadar dalam pencapaian tujuannya tersebut. Hal ini akan mendatangkan KEKUATAN dalam perjuangan. Seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu kita. Seperti pembangunan BOROBUDUR yang memakan waktu hampir 1 abad atau sebanyak kurang lebih berganti 20 raja dalam kurun waktu tersebut. Bukan KEAJAIBAN namun sebuah KOMITMEN dalam mewujudkan candi tersebut.

Walaupun kata KOMITMEN yang saat ini digunakan adalah merupakan bahasa serapan dari bahasa asing ”to commit” bukan berarti bangsa Indonesia tidak memiliki budaya tersebut. Kenapa saya memiliki pendapat tersebut, salah satu produk budaya adalah bahasa, dan yang terkecil adalah kata. Jika komitmen di dapatkan dari bahasa serapan. Tandanya kita, bangsa Indonesia, tidak memiliki budaya (komitmen) tersebut. Namun saya melihat lain, bangsa Indonesia memiliki itu, entah kata apa yang tepat dari bahasa Indonesia untuk dapat menggambarkan kata komitmen tersebut. Fenomena lain terkait keteguhan hati dalam perjuangan dapat dilihat dari sang patih Gajah Mada, yang bertekad untuk menyatukan nusantara. Kuncinya adalah Tujuan yang jelas sehingga dapat menentukan arah dan pilihan yang harus diambil selama perjuangan yang akan dilakukan.

Pertama ”Jalan Mendatar”. Sebelum mendaki maka akan melewati jalan mendatar di tengah hutan belantara. Bisa saja memilih jalan yang sudah dilalui orang lain dimana semua sudah terdapat jejaknya dan tentu saja aman. Atau dapat memilih jalur lain namun harus bersiap menerima resiko kehilangan arah atau dimangsa binatang buas. Di dalam hutan banyak sekali jebakan yang bisa membuat jatuh dan bahkan tidak dapat sampai ke tujuan kita. Semua tergantung PILIHAN!. Sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keyakinan dalam berjalan dalam pilihan. Yang pasti sukses adalah kualitas diri. Apakah ingin hidup sebagai follower atau sebagai inovator dan creator. Kisah menarik yang saya alami terkait dengan sebuah pilihan, yaitu absensi pada sahabat mahasiswa saya. Secara sadar dirinya telah tidak hadir kuliah lebih dari jumlah yang telah ditentukan. Ia mengetahui benar konsekuensi akan tidak bolehnya dirinya untuk mengikuti ujian pada saat itu karena absensinya melebihi batas yang telah ditentukan.

Namun saya terharu, ia tetap hadir untuk mendukung teman-temannya dalam ujian. Karena ujiannya merupakan hasil kerja kelompok dan dirinya merasa bertanggungjawab untuk dapat menghantarkan kelompoknya mendapat nilai yang baik. Itu sebuah PILIHAN, hal itu ia sadari dengan konsekuensi tetap tidak lulus karena absensi namun ia tahu bahwa perjuangan sesungguhnya adalah bukan masalah lulus atau tidak lulus namun BELAJAR yang ia tuju.

Kedua “ Jalan Mendaki “. Untuk mencapai puncak maka harus menguatkan otot dan bahu untuk mendaki. Jika berlari akan menguras energi sendiri. Sementara jarak menuju puncak tidak diketahui dengan pasti. Jika bicara energi akan sangat erat hubungannya dengan emosi. Artinya harus mempunyai emosi yang terkendali dalam mencapai dan dapat melihat puncak gunung. Dalam mendakipun harus rela untuk berhenti barang sejenak bila memang lelah. Bila kehilangan arah maka cobalah berhenti barang sejenak. Pandanglah langkah yang sudah terlewati, tataplah puncak gunung itu. Kemudian pikirkan dan analisa langkah yang telah dilalui. Banyak gunung semua memiliki tinggi yang berbeda. Sesuaikan kadar kemampuan diri dan tentukan mana puncak yang akan diraih terlebih dahulu maka itu adalah BIJAKSANA. Cerita kaum sufi menyebutkan tentang seekor bakicot merayap mendaki pohon murbay yang sangat tinggi. Sang burung mentertawakan Bakicot sambil berteriak “ Hai Bakicot apa yang engkau lakukan. Pohon murbay ini tidak sedang tidak berbuah dan berdaun karena musim gugur. Dan lagi sampai kapan anda akan tiba dipuncak pohon ini. “ Bakicot dengan tenang terus merayap pohon itu dan menjawab “ Saya tahu pohon ini sedang tidak berbuah dan berdaun tapi setidaknya ketika musim semi datang , saya sudah sampai dipuncak pohon untuk memakan daun murbai.” Untuk mencapai puncak tidak hanya dibutuhkan kekuatan fisik dan fasilitas yang tersedia tapi lebih dari pada itu adalah kemampuan melihat dari tabir kegegelapan. Melihat dengan kekuatan hati. Itu semua bersumber dari satu sikap “ SABAR dan ikhlas. “ itu yang disebut dengan MENTALITAS. Jika ditanyakan pada banyak orang, apakah jika ada rencana membuat BOROBUDUR 2 yang memiliki bentuk desain yang serupa apakah hal ini mungkin terjadi dengan kondisi teknologi yang ada pada saat ini ? pasti akan menimbulkan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Saya memiliki pandangan bisa ”ya” dan bisa ”tidak”. Dikatakan ”ya”, teknologi saat ini disertai biaya yang cukup sangat memungkinkan membuat BOROBUDUR 2, namun dikatakan ”tidak” terkait mentalitas dalam mewujudkan sebuah bangunan yang memiliki kualitas seperti yang aslinya. Sehingga dalam bagian kedua ini pada jalan mendaki, selain fisik dan fasilitas, MENTALITAS mengambil peran utama dalam keberhasilannya mencapai puncak.



Ketiga “ Jalan melereng “. Ketika mendaki , maka kondisi yang tidak bisa dihindari adalah jalan melereng ( jalan melingkar) mengitari tebing gunung. Disekitar terdapat jurang yang sangat dalam. Semakin tinggi puncak gunung yang hendak dicapai maka semakin dalam jurang yang ada disamping jalan yang dilalui. Di lereng gunung ini , selalu jalannya lincin. Tergelincir adalah resikonya . jalan mencapai puncak memang mengharuskan menempuh jalan berliku. Memang sangat menyakitkan bila harus terjatuh namun harus bangkit untuk mencoba lagi dan mencoba lagi. Yang pasti kesuksesan itu adalah reward terindah dari perjuangan tanpa lelah. Sikap hati - hati dan bijaksana mengendalikan emosi meredam ego adalah sangat penting bila anda ingin selamat sampai dipuncak. Karena masing-masing diri kita mengetahui apa yang menjadi TUJUAN yang ingin dicapai. Bisa dibayangkan jika menjadi pribadi yang tanpa tujuan dalam kehidupannya. Selalu dalam kebingungan dan keraguan dalam setiap keputusannya. Hal ini jugalah yang akan menentukan Adversity Quotient (AQ) diri kita. Apakah kita seorang yang ”Quitter”, melihat susahnya perjalanan yang akan ditempuh,mungkin baru ia dengar dari rekannya saja, hati sudah kecut dan akan mengurungkan niat untuk melakukan perjalanan. Sedangkan yang berikutnya adalah tipe ”Campper”, yaitu tipe pribadi yang baru sedikit dapat kesulitan memutuskan untuk berhenti, karena tidak tahu apa yang akan dituju. Dan terakhir adalah tipe ”Climbber” yaitu tipe pribadi yang digambarkan sebagai pribadi yang fokus terhadap tujuan sehingga mengarahkan emosi, energi, potensi diri dalam mencapai tujuan. Apapun resikonya, dapat melihat kebaikan apa yang menjadi tujuannya tersebut.

Keempat “ Jalan menurun “ Ketika telah berhasil sampai di puncak maka tidak ada yang dapat dirasakan kecuali puas. Bahwa perjalanan ini telah menjadi bagian dari sejumlah orang yang berhasil mencapai puncak dengan melewati berbagai tantangan. Banyak pula yang gagal mencapai puncak. Berhenti sebatas lereng gunung. Tetapi lambat atau cepat harus ikhlas untuk turun. Jalan menurunpun tidaklah mudah. Ia membutuhkan kekuatan emosi dan kesabaran mengitari lereng gunung dan menghadapi dalamnya jurang kehidupan. Rasa ”PUAS” ini merupakan hal yang harus diwaspadai menjadikan diri menjadi lengah dan mudah tergelincir pada saat di atas ataupun ketika perjalanan turun harus ia lakukan.

Banyak orang hanya melihat dan berhasrat meraih keindahan puncak gunung tapi tidak siap melewati pendakian dan menyusuri lereng gunung. Yang mereka lakukan adalah melakukan jalan pintas. Menyogok untuk menjadi pemenang. Menjilat agar mendapat jabatan. Berjudi agar cepat kaya. Merampok , korupsi agar cepat sukses. Inilah gambaran pribadi-pribadi yang memaknai hidup sebagai ”BERADAPTASI” bukan sebagai seorang yang ”CREATOR”. Bila mereka telah dipuncak dengan cara ini maka tentupula akan tidak siap bila harus turun. Karena tidak pernah tahu cara untuk turun. Mereka tidak pernah dapat menarik hikmah kemanusiaan dari keberadaannya di puncak karena mereka melangkah di uar hukum alam. Naik cepat dan turunpun cepat dan biasanya bukan turun secara alami tapi terjun bebas!....

Kehidupan yang sedang kita lalui ini adalah tidak lebih sama. Semua kita melalui proses mencapai puncak walau puncaknya berbeda - beda kadar ketinggiannya pada masing masing orang. Tergantung dengan tujuan kehidupan masing-masing orang dan juga seberapa kaya dalam memaknai kehidupan yang dilaluinya. Semakin tinggi puncak yang hendak dicapai maka semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Jalan mendatar , mendaki , melereng dan akhirnya harus turun dari puncak. Hukum alam tidak dapat dihindari. Penolakan atau mencoba memanipulasi hukum alam akan menimbulkan pradox , kehancuran bagi diri kita sendiri juga bagi kehidupan umat manusia di planet bumi ini. Kakek saya mengingatkan “alam terbentang menjadi guru”. Makna dari ungkapan ini adalah raihlah keberhasilan dengan banyak membaca , melihat dan mendengar karena beban untuk mu sudah menanti  “menjadi rahmat bagi alam semesta” – dengan PERBUATAN !



thanks to Seta Wicaksana ( Dosen sekaligus motivator ane hehehe banyak inspirasi nihhh ). ini merupakan salah satu hasil karya beliau yang membuat saya melek tentang sebuah perjuangan pengorbanan dan 1 hal yg terngiang di benak pikiran saya ialah Semakin tinggi puncak yang hendak dicapai maka semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Jalan mendatar , mendaki , melereng dan akhirnya harus turun dari puncak. Hukum alam tidak dapat dihindari.

Selasa, 18 Desember 2012

Belajar Memaknai Belajar !!!

sebelumnnya saya ingin berterima kasih dengan dosen saya Om Seta Wicaksana psikolog sekaligus Motivator yg suangat suepperrrr hehehe 

ini tulissan diciptakan oleh Om Seta tersebut dan saya hanya ingin menyebarluaskan ke kalian para penggila dunia maya silahkna di baca dan di nikmatin :


Sebuah catatan kecil dari sebuah perjalanan...

Pada suatu ketika ujian hampir tiba, semua siswa SD terlihat tetap bersemangat untuk bermain dengan rekan-rekannya yang lain. Bahkan kesibukan ditambah dengan datangnya musim pancaroba yang dikenal dengan musim banyak angin, jadilah bermain layangan di sore harinya. Menarik dan menyenangkan !!  Jadi bagaimana kisah ujian tadi ?! terlupakan…dan TERLALU !!

Kebetulan dan alhamdulillah-nya juga…, orang tua saya khususnya ibu telah menanti dengan berbagai buku bidang studi, ada IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, IPS, dan lain sebagainya. Walah !! teriak saya dalam hati…, badan lelah seharian bermain… dan mata pun terasa berat untuk memulai belajar. Saya merasa pada saat itu ‘belajar’ merupaka saat yang sangat mencekam. Apalagi jika saya tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas dari ibu, saya akan berkurang jam tidur saya saat itu. Aduuhhh… kenapa mesti belajar sih??!! Padahal di sekolah nggak gitu-gitu banget dech !! Cape dech !!

Pertanyaan demi pertanyaan terus dilontarkan dari Ibu, waktu seperti bergerak sangat lama…, hal ini yang dirasakan setiap menghadapi ujian yang akan datang sebentar lagi. Pertanyaan nakal kembali hadir dalam benak saya, kenapa pakai ujian sih ?? hehehe….pakai tertawa lagi..(sungguh TERLALU!!!)

Belajar menurut saya merupakan sebuah proses yang terjadi selama kita hidup. Ilustrasi di atas merupakan hanya sebagian kecil dalam kita belajar. Sensasi belajar ada dua yang dapat dirasakan, yaitu ‘mencekam’ dan ‘menyenangkan’.  Kenapa ? kita akan coba melihat satu-satu dari kedua sensasi ini.

‘Mencekam’ kata ini akan dapat dirasakan jika secara mental diri merasa belajar bukanlah sebuah prioritas sehingga menimbulkan keengganan hingga penolakkan. Kenapa belajar bukan merupakan prioritas?? Karena tidak semua orang memandang bahwa belajar adalah identik dengan sekolah, ulangan umum ujian, pengawas, lulus dan tidak lulus, dan sebagainya. Sejak awalnya ketika diperkenalkan dengan institusi yang katanya sangat peduli akan perkembangan pendidikan justru saya semakin kehilangan makna dan filosofi dari sebuah kata belajar. Kenapa hari-hari saya pada saat belajar bukan merupakan hari yang menyenangkan seperti pada saat kita bermain dengan teman atau hobi kita. Apakah kita tersesat pada hutan belajar ??

Sebelum sampai kata ‘menyenangkan’ saya kembali bercerita mengenai sebelum berkenalan dengan institusi pendidikan yang ada. Saya begitu hapal dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhi dunia ini. Saya begitu senang untuk membuat tulisan kecil setelah saya membaca. Saya begitu antusias dalam membaca buku-buku sejarah dari novel hingga otobiografi.  Saya merasakan kehausan yang tak terkira dan sangat berbeda, waktu begitu sangat cepatnya…Asyikkk inilah yang dikatakan saat yang menyenangkan. Percaya atau tidak sensasi ini telah lama menghilang dan terkubur dalam- dalam.
Bisa dibayangkan bahwa ketika diri sudah kehilangan semangat untuk belajar, mau jadi apa?? Apakah dunia ini berhenti ketika kita berhenti belajar ?? jawabnya TIDAK !!

TIDAK !! BELAJAR ITU MENYENANGKAN…, saya seperti kembali pada masa kecil saya yang menyenangkan. Tapi untuk membuat pernyataan tersebut bukanlah hal yang mudah. Karena musuh terberat adalah DIRI kita sendiri !! terkungkung dalam lingkungan dan institusi yang justru menghilangkan makna belajar membuat diri menjadi kehilangan arah, mentalitas lemah, follower, kreativitas mandeg, jiwa kerdil, otak menciut, dan tidak menjadi apa-apa dan bahkan menjadi potensi pembuat onar sejati. Kenapa ?? karena tidak dapat berpikir dan merasa semuanya terbatas terjadi ‘rebutan’ yang pastinya dengan segala cara dan upaya…Waduh Kacau !!

Memutus rantai bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan energi yang luar biasa. Namun bukanlah hal yang sulit juga untuk dilakukan selama bisa jujur pada diri sendiri. Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang harus anda dan kita semua jawab, tidak hanya dijawab dengan kata-kata, namun juga dari hati, ‘Apakah belajar itu penting bagi kita?’ dan hilangkan semua yang namanya kata "tapi ini, tapi itu dan tapi-tapi yang lain. " Itu adalah kehendak yang fitrah. Kenapa fitrah…yaitu kita kembali sebagai sejatinya seorang manusia… diberi akal dan hati untuk digunakan dengan baik. Kita hanya mengembalikan kebiasaan yang membawa kita jauh dari kefitrahan manusia menjadi kembali kejalurnya. Dunia ini diciptakan untuk manusia-manusia yang mau menggunakan pikirannya untuk membaca kekuasaan sang pencipta yang luar biasa agar dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikannya.

Belajar bukanlah melulu untuk nilai, ijazah, status sosial di masyarakat, namun justru kesungguhan seorang individu dalam belajar adalah semampu apakah ia dapat bersyukur. Setelah saya melakukan perenungan diri, ternyata masih banyak hal dalam diri untuk terus dapat belajar di dunia yang luas ini. Percaya atau tidak…ilmu yang saat ini dimiliki seperti sebuah ujung jari tangan yang dicelupkan dalam lautan yang sangat luas dan kemudian diangkat hingga tidak terkena air, dan air yang menempel itu adalah ilmu yang dimiliki. Jujur..,sikap cepat puas yang membuat jari kita terangkat dari celupan air. Pada hal kita harus tetap menyelami kehidupan kita hingga waktu yang diberikan kepada kita habis dan berakhir. Maknailah belajar dan jadilah orang-orang yang bersyukur serta berbuatlah ke’baik’an di muka bumi ini, bagi diri, orang lain dan lingkungan.

Terima kasih yang tak terkira kepada Ibu dan Bapak, guru/dosen, ustadz, teman-teman, buku dan internet serta alam yang luar biasa yang membuat belajar menjadi indah dan menyenangkan…, untuk 1ndONEsia lebih baik, Nyalakan api semangat belajar mu SOBAT !! (wicaksana, 2012)

semoga catatan kecil ini bisa berkesan besar untuk kalian semua, saya hanya ingin berkata bahwa setiap yang kita jalani adalah sebuah pembelajaran buat kita tetap menjadi diri sendiri ya brooo

Minggu, 09 Desember 2012

Prokastinasi ( Penyakit Menunda Pekerjaan )

huahhhh udh lama ga nulis nulis catatan nih di blog udh berapa abad ya ??? yahhh lupa deh yess boss haha, yawda agak malas gitu dehhhh hahha spikkk boong kok gua haha
tanpa panjang lebar kali tinggi langsung aja kali ini gua bakalan bahas penyakit umat manusia yang lagi produktif produktifnya bekerja dan belajar yaitu Prokrastinasi.





    Menunda suatu perkerjaan kadang menjadi perilaku yang sering kita lakukan, Sebenarnya ini bukan masalah yang kritis ketika hanya berjangkit pada pribadi-pribadi, namun menjadi masalah besar ketika terjadi pada pribadi-pribadi yang bekerja di birokrasi atau memegang posisi jabatan publik.

     Setiap masyarakat yang pernah berhadapan dengan birokrasi, umumnya pernah merasakan lambatnya pelayanan yang dilakukan oleh pelayan-pelayan masyarakat di birokrasi. Ketika kita pertanyakan, maka jawaban-jawaban yang sering kita temui, harus mengikuti aturan, atau yang aneh, ketiadaan staf atau atasan tertentu di tempat.
Kasus lambatnya kinerja birokrasi ini saking seringnya terjadi, sehingga sampai hari ini dianggap sesuatu yang wajar dalam masyarakat. Sehingga ketika ada masyarakat yang menghadapi fenomena seperti ini, biasanya kemudian mencari solusi lain dengan cara memberi “Peng jip kupi” untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat.

         Dalam kajian psikologi, fenomena ini disebut “Prokrastinasi”. Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastinare. Pro artinya gerakan maju dan crastinus artinya milik hari esok. prokrastinasi adalah perilaku manusia yang sering menunda-nunda baik tugas maupun pekerjaan dan pelakunya disebut prokrastinator. Masalah utama dari perilaku prokrastinasi adalah masalah manajemen waktu dan masalah penetapan prioritas.
Dari hasil berbagai penelitian ada beberapa masalah yang menyebabkan timbulnya Prokrastinasi tersebut. Pertama, karakteristik tugas adalah bagaimana karakter dari pekerjaan atau tugas tersebut. Jika terlalu sulit, kecenderungan orang akan menunda pekerjaan atau tugas tersebut. Kedua, karakter personaliti (kurang PD, moody, irasional) orang akan cenderung menunda pekerjaan jika kurang percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Prokrastinasi, selain menimbulkan masalah pada pekerjaan dan dalam birokrasi dapat merusak citra instansi dan merugikan masyarakat, tanpa disadari oleh pelakunya. Prokrastinasi dapat menyebabkan seseorang kehilangan peluang dan kesempatan yang datang (Wulan:2000).
Menurut tiga ahli prokrastinasi, Joseph Ferrari, Ph.D., Profesor psikologi dari De Paul University di Chicago, dan Timorthy Pychyl, Ph.D., professor psikologi dari Carleton University Ottawa, banyak penyebab terbentuknya prokrastinasi ini, hal penting yang perlu kita ketahui ialah; sifat prokrastinasi terbentuk dari lingkungan dan bukan akibat faktor keturunan. Kebiasaan ini tumbuh tidak secara langsung dalam keluarga dan merupakan respons terhadap gaya otoriter yang diterapkan orang tua.
Prokrastinasi bahkan bisa menjadi salah satu bentuk pembebasan. Sekitar 20 persen masyarakat mengidentifikasikan dirinya sebagai pengidap kronis prokrastinasi. Bagi mereka, prokrastinasi adalah gaya hidup meskipun bukan berarti kegagalan dalam beradaptasi. Prokrastinasi bukanlah hal sepele, meskipun sebagai budaya kita tidak menganggap hal ini sebagai masalah. Kebiasaan ini merupakan wujud dari problem serius dari pengendalian diri.

         Prokrastinasi bukanlah masalah dalam manajemen waktu atau perencanaan. Para pengidap prokrastinasi tidaklah berbeda dalam hal kemampuan memperhitungkan waktu,meskipun mereka lebih optimistis ketimbang yang lain. Pengidap prokrastinasi secara aktif mencari-cari kekacauan atau kebingungan, khususnya seseorang yang tidak memiliki komitmen serius.
       Para pengidap, prokrastinasi kerap membohongi dirinya sendiri, seperti misalnya mengatakan, “Saya merasa lebih suka melakukanya esok hari” atau “Saya biasa bekerja dalam tekanan”. Namun faktanya, mereka tidak bergegas keesokan harinya untuk bekerja atau melakukan yang terbaik di saat berada dalam tekanan. Selain itu, mereka melindungi perasaan dirinya dengan mengatakan “Ini tidaklah penting”.

          Kebohongan besar yang biasa dilakukan prokastinator adalah bahwa tekanan waktu akan membuat mereka menjadi lebih kreatif. Buktinya, mereka tidak berubah untuk menjadi lebih kreatif, mereka hanya merasanya. Mereka justru memboroskan modal mereka sendiri.








Identifikasi Pelaku prokrastinasi
Menurut hasil penelitian Tamin tahun 2000 dari seluruh Pegawai Negeri Sipil yang ada di Indonesia hanya 40% saja yang benar-benar profesional. Melihat pada kondisi atau kenyataan sekarang di kantor-kantor instansi pemerintah, misalnya kantor kelurahan dan dinas masih terlihat banyak pegawai yang tidak optimal dalam mengerjakan tugasnya pada saat jam kerja kantor.
Hal ini tampak dari perilaku yang ditampilkan seperti membaca koran atau majalah, bercakap-cakap dengan rekannya sambil merokok, pergi ke kedai kopi di waktu jam kerja bukan untuk alasan dinas. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa di kantor pemerintah banyak para pegawai yang relatif sering melakukan prokrastinasi kerja sehingga sangat merugikan masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan pelayanan jasa dengan cepat.
Yang lebih parah ““Prokrastinasi”” ini bukan hanya terjadi pada level bawah akan tetapi menjalar hingga ke level yang lebih tinggi, pada level atas, pada pejabat publik seperti Gubernur, Bupati, Kepala Dinas dan Anggota Dewan.
Lalu bagaimana mengatasi ini? Menurut Goleman (2000) bahwa dengan menerapkan manajemen diri, individu dapat menciptakan realitas kehidupan sesuai dengan misi dan tujuan hidup. Baik itu berupa kebebasan finansial, pengembangan karir dan pekerjaan, hubungan yang lebih baik dengan keluarga, sesama, dan terutama dengan Tuhan, serta kesehatan yang terpelihara.
Manajemen diri dimaksudkan untuk mengenali diri secara menyeluruh (konsep diri), mengidentifikasi secara jelas tujuan apa yang ingin dicapai, paham betul apa pentingnya mencapai tujuan tersebut, mengontrol dan mengelola diri (tingkah laku emosi), melakukan evaluasi diri atas apa yang telah dilakukan serta paham tentang insentif-insentif yang akan diperoleh akibat tindakan yang dilakukan.
Berkaitan dengan dunia kerja, manajemen diri mengajarkan bagaimana cara melakukan identifikasi diri yang berhubungan dengan bagaimana cara orang menilai masalah organisasi, tujuan spesifik yang berhubungan dengan organisasi tersebut. memonitor cara lingkungan memberikan fasilitas atau menghambat pencapaian tujuan, mengidentifikasi dan mendemonstrasikan performance dan punishment ke arah pencapaian tujuan.
Maka sebaiknya, eksekutif dan legislatif merancang program pelatihan manajemen diri rutin bagi pejabat publik dan birokrat agar dapat segera mencapai kemajuan yang kita inginkan. Karena, apa jadinya bila masyarakat kita bila dikelola oleh individu-individu yang bermasalah dengan manajemen dirinya sendiri.