Minggu, 12 Mei 2013

Konseling Pendekatan Behavior Part 1

Konseling behavioral merupakan bentuk adaptasi dari aliran psikologi behavioristik, yang menekankan perhatiannya pada perilaku yang tampak. Perkembangan konseling behavioral bertolak dari perkembanngan aliran behavioristik yang menolak pandangan strukturalisme dan fungsionalisme tentang kesadaran, yang berpendapat bahwa mental, pikiran dan perasaan hendaknya ditemukan terlebih dahulu bila perilaku manusia ingin difahami, pandangan inilah yang melandasi munculnya teori introspeksi.

Asumsi dasar dari aliran behaviorisme adalah bahwa;
(1) tingkah laku manusia mengikuti hukum tertentu, bahwa setiap peristiwa berhubungan secara teratur dengan peristiwa lainnya,
(2) tingkah laku manusia dapat diprediksi, dan
(3) tingkah laku manusia dapat dikontrol. Dari asumsi dasar behavioristik inilah lahir pendekatan konseling yang disebut dengan konseling behavioral, yang menekankan aspek modifikasi perilaku.

Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu untuk mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. Hal yang paling mendasar dalam konseling behavioral adalah penggunaan konsep-konsep behaviorisme dalam pelaksanaan konseling, seperti konsep reinforcement, yang merupakan bentuk adaptasi dari teori pengkondisian klasik Pavlov, dan pengkondisiaan operan dari Skinner.


Aliran behavioristik menolak teori introspeksi dari aliran strukturalisme dengan sebuah keyakinan bahwa teori introspeksi tidak dapat menghasilkan data yang objektif, karena kesadaran merupakan sesuatu yang Dubios, yaitu sesuatu yang tidak dapat diobservasi secara langsung, secara nyata. Bagi aliran behavioristik yang menjadi fokus perhatian utama adalah perilaku yang nampak dari seorang individu. Disamping itu, aliran behavioristik muncul sebagai gagasan baru sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap psikoanalisis.

Hakekat manusia dalam konseling behaviorial

Hakikat manusia menurut pandekatan konseling behavioral adalah pasif dan mekanistik, manusia dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan diprogram sesuai dengan keinginan lingkungan yang membentuknya. Manusia merespon lingkungan dengan kontrol terbatas, hidup dalam alam deterministik dan memiliki sedikit peran aktif dalam memilih martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.

Dalam pandangan behavioristik, kepribadian manusia merupakan perilaku yang terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang diperoleh dari interaksi seseorang dengan lingkungannya. Kepribadian merupakan pengalaman seseorang akibat proses belajar. Aliran behavioristik memiliki asumsi-asumsi dasar terhadap perilaku manusia sebagai berikut; (1) manusia memiliki potensi untuk segala jenis perilaku, (2) manusia mampu mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya, (3) manusia mampu mendapatkan perilaku baru, (4) manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi oleh orang lain.

Perilaku bermasalah

Menurut pandangan behavioral, perilaku bermasalah adalah kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku bermasalah ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah adanya salah suai dalam proses interaksi dengan lingkungan, adanya pembelajaran yang salah dalam rumah tangga, tempat bermain, lingkungan sekolah, dan lingkungan lainnya. Perilaku dikatakan salah suai jika perilaku tersebut tidak membawa kepuasan bagi individu, atau membawa individu kepada konflik dengan lingkungannya.

Terbentuknya perilaku bermasalah dikarenakan adanya proses pembelajaran. Perilaku bermasalah itu akan bertahan atau hilang tergantung pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang menyertai perilaku tersebut. Misalkan perilaku destruktif dalam kelas dapat bertahan lama karena adanya reinforcement berupa dukungan dan pujian dari teman-temannya sehingga memunculkan perasaan puas. Punishment menjadi tidak efektif karena tidak mampu melawan kekuatan reinforcement. Perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi jika pemberian ganjaran dan hukuman diberikan secara tepat.

Perilaku bermasalah dapat juga terbentuk sebagai proses mencontoh (modeling), baik secara langsung atau imitasi, maupun pengamatan tidak langsung atau vicarious. Misalnya anak yang memiliki perilaku agresif, bisa jadi karena anak sering dipukul, atau melihat orang tuanya bertengkar, bahkan lewat media televisi anak dapat mencontoh adegan-adegan yang bersifat kekerasan, yang biasa terdapat dalam sinetron atau film.

Proses dan tujuan konseling behavioral

Dalam pendekatan behavioral, hal yang penting untuk mengawali konseling adalah mengembangkan kehangatan, empati, dan hubungan suportif. Pendekatan behavior di dalam proses konseling membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara faktor bawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Dalam konsep behavior, perilaku manusia merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar. Proses konseling merupakan suatu proses atau pengalaman belajar untuk membentuk konseli mengubah perilakunya sehingga dapat memecahkan masalahnya.

Dalam konsep behaviorisme modern, manusia tidak lagi diasumsikan secara deterministik ( manusia ditentukan oleh faktor bawaan atau Gen ), tetapi merupakan hasil pengkondisian sosio-kultural. Oleh karena itu, konseli diberikan peluang secara bebas dan menambah keterampilan konseli untuk memiliki lebih banyak opsi dalam melakukan respon. Konseli terlibat dan berperan aktif dalam menentukan tindakan secara spesifik, dan menekankan upaya membimbing konseli untuk terampil dalam memanajemen diri. Target perubahan menekankan pada perilaku nyata (over behavior) dan perilaku terselubung (covert behavior), identifikasi problem, dan perubahan yang terjadi.

Dalam terapi behavioral, tujuan konseling untuk membantu konseli membuat pilihan dan situasi baru untuk proses belajar. Konseli dengan bantuan konselor menetapkan tujuan secara spesifik untuk proses terapi. Konseli berperan aktif dalam menetapkan treatment.

Proses konseling yang dibangun dengan pendekatan behavioristik terdiri dari empat hal, yaitu;

(1) tujuan terapis diarahkan pada memformulasikan tujuan secara spesifik, jelas, konkrit, dimengerti, dan diterima oleh konseli maupun konselor,
(2) peran dan fungsi konselor adalah mengembangkan keterampilan menyimpulkan, merefleksi, mengklarifikasi, dan membuka-menutup pertanyaan,
(3) kesadaran konseli dalam mengikuti terapi dan partisipasi konselor ketika proses terapi berlangsung akan memberikan pengalaman positif pada konseli, dan
(4) memberikan kesempatan kepada konseli karena kerja sama dan harapan positif dari konseli akan membuat hubungan terapis lebih efektif.

Peran konselor dalam pendekatan konseling behavioral adalah aktif dan direktif, dan berfungsi sebagai konsultan dan problem solvers. Konselor behavioral berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli yang membantu konseli dalam mendiagnosis dan melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah dan tujuan yang diharapkan, sehingga mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive. Konselor harus dapat menjadi model bagi konseli, karena salah satu hal mendasar dalam pendekatan ini adalah bagaimana konseli belajar perilaku baru dengan imitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar